Tuesday, November 19, 2013
JiFFest 2013 Memutar Film Pendek Pilihan
JiFFest 2013 memutar film pendek dari kategori Pop Up Cinema Shorts: Breakthrough dan road movie yang sudah diputar di 40 negara.
JiFFest 2013 di hari kedua memunculkan sebuah pertanyaan, "Film Anda jelek". Pernyataan itu terlontar dari mulut seorang penonton Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya untuk sang sutradara, Yosep Anggi Noen, dalam sesi tanya jawab begitu selesai pemutaran film di hari kedua JiFFest 2013 pada 16 November lalu. Dari empat orang penonton lain yang memberikan pujian, hanya si penonton itu terang-terangan mengutarakan ketidaksukaannya terhadap film fiksi panjang pertama Anggi ini.
"Film ini hanya bagus di 35 menit pertama. Selebihnya film ini membuang-buang waktu saya," ujar si penonton. Bahkan, ia juga memberi saran kepada Anggi untuk berhenti bikin film seperti Vakansi dan menjadi sutradara film-film komersil supaya filmnya bisa masuk bioskop. Seperti Ifa Isfansyah dan Salman Aristo, ucap si penonton mencontohkan.
Sutradara asal Yogyakarta sesekali tersenyum saat menyimak pendapat panjang si penonton. Ia lalu hanya menjawab pendek, "Saya rasa setiap penonton memiliki hak untuk keluar dari bioskop sebelum filmnya selesai." Memang hal yang lumrah terjadi jika ada penonton yang keluar di tengah pemutaran akibat tidak suka terhadap film yang ditonton. Bahkan, ada pula kritikus film yang menonton film tak sampai selesai karena saking tidak sukanya.
Sedangkan bagi Anggi, bukan sekali ini saja ia berdiri di depan ratusan penonton yang penasaran terhadap Vakansi. Faktanya, film berjudul bahasa Inggris Peculiar Vacation and Other Illnesses ini sudah diputar dalam berbagai festival film di 40 negara sejak masuk kompetisi dan tayang perdana (world premiere) di Film Festival Locarno—salah satu festival film tertua bergengsi di dunia—pada Agustus 2012.
Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya sendiri terpilih masuk program Pop Up Cinema Jakarta International Film Festival (JIFFest) ke-13 ini yang diputar pada 15 s.d 17 November kemarin di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia, Jakarta. Film ini masuk dalam kategori Pop Up Features bersama tiga film panjang lain, yakni Toilet Blues karya Dirmawan Hatta, Elesan Deq A Tutuq arahan Syaiful Anwar, dan Mangga Golek Matang di Pohon karya Tonny Trimarsanto.
Pada kategori Pop Up Cinema Shorts: Breakthrough, ada lima film pendek yang diputar pada 16 November lalu, seperti film Lawuh Boleh karya Misyatun, Canggungarahan Tunggul Banjaransari, Halaman Belakang garapan Yusuf Radjamuda, Kamu di Kanan Aku Senang karya B.W. Purbanegara, dan A Lady Caddy Who Never Saw A Hole In One yang juga digarap Yosep Anggi Noen. Lebih dari 150 penonton menyaksikan pemutaran film-film Pop Up Cinema Shorts: Breakthrough ini.
"Tadi pada ramai (tertawa) pas film yang mana?" tanya Anggi kepada panitia JiFFest sebelum sesi tanya jawab Pop Up Cinema Shorts: Breakthrough dimulai. Dia penasaran karena mendengar tawa dan tepuk tangan penonton dari luar Galeri Indonesia Kaya saat lima film pendek tengah diputar. Penonton film di JiFFest sangat responsif, katanya.
Film pendek Canggung termasuk yang mendapat ramai tepuk tangan para penonton. Film dokumenter pendek ini memperlihatkan momen ketika dua keluarga berbeda bangsa, Indonesia dan Jepang, bertemu kemudian berinteraksi dengan adanya kendala bahasa dan budaya. Alhasil, terjadi situasi canggung. Itulah yang ditangkap oleh kamera Tunggul Banjaransari. Keluarga dari Indonesia yang diperlihatkan dalam Canggung sebenarnya masih merupakan sanak-saudara Tunggul.
"Saya biasanya paling malas kalau disuruh untuk mendokumentasikan video acara keluarga," ujar Tunggul, menceritakan awal mula produksi filmnya ini kepada penonton.
A Lady Caddy Who Never Saw A Hole In One bikinan Yosep Anggi Noen juga membuat beberapa penonton penasaran. Sejumlah pertanyaan diajukan kepada Anggi tentang film karyanya. Film pendek yang memaparkan percakapan seorang pria dan seorang gadis caddy di tengah hamparan sawah ini bukan hanya berkutat tentang pelajaran bermain golf, tapi juga cinta dan amarah.
Anggi mengatakan bahwa lewat film pendeknya ini menyampaikan protes kepada penguasa, karena mereka kerap membuat kesepakatan-kesepakatan politik di lapangan golf, sebuah arena yang di dalamnya juga sering terjadi pelecehan terhadap para perempuan sebagai caddy. Di sisi lain, tambahnya, lapangan golf itu sendiri adalah cerminan ketidakadilan, karena dalam proses pembangunannya telah menggusur lahan-lahan pertanian.
"Saya dendam sekali sama orang-orang yang arogan yang telah mematikan lahan dan penghidupan orang lain," tegas Anggi. Dalam realitanya, ia memang besar dari keluarga petani yang lahan sawah pernah tergusur demi diubah jadi lapangan golf.
Pertanyaan dari penonton dan pernyataan-pernyataan dari pembuat film, seperti yang diungkap oleh Yosep Anggi Noen dan Tunggul Banjaransari, memang keniscayaan dalam festival film manapun. Begitu juga puja-puji maupun kritik pedas terhadap film-film yang diputar dalam festival film pun bakal selalu muncul. Di sinilah tempat pertemuan antara pembuat film, film dan penikmatnya.
Apresiasi para penikmat film dan pertukaran ide terjadi, termasuk di dalamnya promosi budaya. Seperti yang pernah dibilang oleh Philip Cheah, kritikus film dari Singapura dan programmer beberapa festival film di Asia, bahwa festival film berperan penting dalam mempromosikan budaya yang dibawa oleh film ke para penontonnya. Tak terkecuali dalam perhelatan JiFFest 2013 ini.
"Memindahkan masalah di dunia nyata ke dalam film dan diperlihatkan ke publik luar. Dan ini fungsi film yang menurut saya berhasil terwujud di JiFFest ini," ungkap Anggi.
Sumber : www.muvila.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment